Anak-anak yang berada pada rentang usia 4-6 tahun merupakan individu dalam fase perkembangan kritis yang memerlukan perhatian khusus, baik dari segi pendidikan maupun stimulasi lingkungan. Dalam sistem pendidikan Indonesia, kelompok usia ini berada di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), yang secara formal memberikan pendidikan usia dini sebagai fondasi awal bagi perkembangan mereka (Ariyanti, 2016). Fase ini, menurut Maria Montessori, dikenal sebagai periode sensitivitas, di mana anak-anak memiliki kepekaan khusus terhadap berbagai rangsangan lingkungan yang dapat memengaruhi perkembangan fisik, kognitif, dan sosial mereka secara signifikan. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan bermain-belajar yang berkualitas adalah kebutuhan mutlak untuk menstimulasi fungsi-fungsi tertentu pada pancaindra anak, termasuk kepekaan terhadap keteraturan, daya eksplorasi menggunakan indera, serta interaksi sosial yang sehat (Ernawati, 2003).
Dalam konteks pendidikan usia dini, salah satu metode yang efektif untuk mendukung periode sensitivitas ini adalah melalui permainan sensori (sensory play). Permainan sensori bertujuan untuk menstimulasi integrasi sensorik anak, yakni kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons berbagai rangsangan inderawi dari lingkungan secara tepat. Stimulasi ini mendukung anak dalam mengontrol respons terhadap rangsangan yang diterima, sehingga mereka dapat bereaksi secara adaptif dan sesuai dengan situasi yang dihadapi (Parnawi, 2021).
Menurut Jean Ayres, seorang ahli terapi okupasi asal Amerika Serikat, terdapat tujuh area sensorik utama yang memengaruhi informasi yang diterima oleh tubuh, yaitu: Visual (penglihatan), Auditory (pendengaran), Olfactory (penciuman), Gustatory (pengecap), Tactile (peraba), Proprioceptive (otot dan persendian), dan Vestibular (keseimbangan) (Bagby, Dickie, & Baranek, 2012). Ketujuh area ini bekerja secara sinergis untuk membantu anak menginterpretasikan dunia di sekitar mereka, dan permainan sensori dirancang untuk menstimulasi satu atau lebih dari area tersebut secara simultan.
Permainan sensori merupakan salah satu metode paling efektif dalam mendukung perkembangan anak usia dini, khususnya pada rentang usia 4-6 tahun di Taman Kanak-kanak. Dengan merancang aktivitas yang terstruktur dan sesuai kebutuhan individu, guru dapat memberikan stimulasi yang tepat pada area sensorik anak, mendukung perkembangan kognitif, motorik, dan sosial mereka secara holistik.
Pengintegrasian permainan sensori dalam pendidikan usia dini bukan sekadar aktivitas bermain biasa, melainkan sebuah pendekatan pedagogis yang esensial untuk mendukung perkembangan holistik anak. Tanpa stimulasi sensorik yang memadai, anak berisiko mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif, motorik, dan sosialnya. Dengan kata lain, permainan sensori tidak hanya membantu anak dalam mengembangkan kemampuan fisik dan indera mereka, tetapi juga membentuk fondasi penting bagi perkembangan intelektual dan emosional mereka di masa depan.
Dalam praktiknya, guru di Taman Kanak-kanak dapat merancang berbagai aktivitas permainan sensori yang melibatkan dua hingga tiga, bahkan lebih, area sensorik secara bersamaan. Misalnya: Menggunakan amplas dengan berbagai gradasi kekasaran untuk memperkenalkan tekstur kasar dan halus, menstimulasi indera taktil; meronce manik-manik untuk melatih koordinasi antara mata dan tangan serta memperkuat kemampuan taktil; memasukkan water beads ke dalam wadah untuk merangsang indera peraba sekaligus meningkatkan koordinasi motorik halus; Memanfaatkan lidah buaya untuk memperkenalkan sensasi cairan berlendir yang unik, memperkuat indera taktil dan eksplorasi sensorik; Mengadakan permainan halang rintang yang melibatkan aktivitas melompat di atas trampolin, merayap di bawah meja, atau berjalan di atas papan titian guna menstimulasi area vestibular, proprioseptif, dan motorik kasar.
Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya menstimulasi indera anak, tetapi juga mengintegrasikan kemampuan kognitif mereka dalam menyusun strategi, memecahkan masalah, serta memperkuat keterampilan sosial melalui interaksi dengan teman sebaya.
Namun, keberhasilan permainan sensori tidak dapat dilepaskan dari kemampuan guru dalam mempersonalisasi aktivitas sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap anak. Setiap anak memiliki karakteristik unik dalam perkembangan sensoriknya, sehingga pendekatan yang digunakan harus bersifat fleksibel dan berpusat pada anak. Guru perlu mempertimbangkan tingkat sensitivitas, kebutuhan, dan potensi anak dalam setiap rancangan permainan yang diberikan.
Untuk memandu proses ini, guru dapat mengacu pada Piramida Pembelajaran (The Pyramid of Learning) yang dirumuskan oleh Williams dan Shellenberger. Piramida ini memberikan kerangka konseptual yang menggambarkan bagaimana perkembangan sensorik menjadi dasar bagi keterampilan yang lebih kompleks, seperti keterampilan kognitif, motorik, dan sosial. Piramida ini menunjukkan bahwa perkembangan sensorik yang kuat merupakan fondasi yang mendukung pembelajaran yang efektif di tingkat yang lebih tinggi.
Gambar 1. Pyramid of Learning Williams dan Shellenberger.
Pada kerangka piramida belajar Williams dan Shellenberger tersebut, dijabarkan, setiap tingkat memiliki urgensi dan fungsi spesifik dalam mendukung perkembangan anak. Guru dianjurkan untuk memulai stimulasi dari area sensorik, sebagai fondasi dasar yang harus dipenuhi sebelum melanjutkan ke tahap perkembangan lebih tinggi, seperti sensorimotor, dan seterusnya hingga mencapai level kognitif yang lebih kompleks.
Aktivitas bermain sensori, yang melibatkan penginderaan langsung terhadap lingkungan, bersinggungan erat dengan konsep proses kognitif yang diungkapkan oleh Jean Piaget, yaitu asimilasi (assimilation), akomodasi (accommodation), dan ekuilibrium (equilibrium) (Brewer, 2007). Piaget menjelaskan bahwa pembentukan kognitif anak tidak terjadi secara instan, melainkan melalui serangkaian proses adaptasi yang terus-menerus terhadap informasi baru.
Skema (scheme) menjadi komponen pertama yang berperan dalam perkembangan kognitif anak. Skema ini merupakan representasi mental atau tindakan yang mengatur pengetahuan anak berdasarkan pengalaman langsung. Misalnya, seorang anak yang baru mengenal hewan anjing akan membangun skema awal tentang “anjing” sebagai hewan berkaki empat, memiliki telinga, mata, dan hidung, serta sering menggonggong. Seiring dengan bertambahnya pengalaman, skema ini diperluas melalui proses asimilasi, di mana informasi baru ditambahkan ke dalam kategori yang sudah ada. Anak mungkin mulai mengenali bahwa anjing memiliki beragam jenis, ukuran, dan warna, dari German Shepherd yang berperawakan besar dengan moncong panjang hingga Bulldog yang berwajah lebar dan moncong pendek.
Namun, perkembangan kognitif tidak selalu berjalan mulus. Anak akan menghadapi informasi yang bertentangan dengan skema yang telah terbentuk, yang menyebabkan terjadinya disekuilibrium. Misalnya, anak yang beranggapan bahwa semua anjing menggonggong akan menghadapi konflik kognitif ketika mengetahui bahwa ada jenis anjing seperti Basenji yang jarang menggonggong (Sutisna, 2020). Informasi ini menantang skema awal anak dan menciptakan ketidakseimbangan dalam pemahaman mereka. Untuk mengatasi konflik tersebut, anak harus melalui proses akomodasi, yakni penyesuaian skema yang sudah ada dengan memasukkan informasi baru, sehingga pemahaman mereka menjadi lebih luas dan akurat.
Proses ini berakhir dengan tercapainya ekuilibrium, di mana anak berhasil menyelaraskan informasi baru dengan skema yang telah diperbarui. Dalam konteks contoh tadi, anak akhirnya menyadari bahwa “tidak semua anjing menggonggong,” yang memperkaya pemahamannya tentang kategori anjing secara lebih fleksibel. Dengan demikian, melalui mekanisme ini, permainan sensori tidak hanya memberikan stimulasi fisik, tetapi juga menjadi sarana penting dalam mengembangkan kemampuan kognitif anak. Melalui pengalaman langsung yang kaya akan informasi inderawi, anak tidak hanya memperkuat kemampuan sensorik mereka, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis, logika, dan penalaran yang kompleks, yang akan menjadi dasar penting dalam pembelajaran di tahap-tahap berikutnya.
qodhlizaka@gmail.com
Labschool Jakarta, Yayasan Pembina Universitas Negeri Jakarta
Komplek UNJ, Jalan Pemuda, RT. 7 / RW. 14, Rawamangun, RT.7/RW.14, Rawamangun, Kec. Pulo Gadung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13220
© LABSCHOOL UNJ